Kota Merah

Tiba-tiba saja dia bertanya
         Apa kabar hujan hari ini?

Dia tahu
         seperti mata air
         air mata pun telah kering
         sejak hujan berbulan-bulan lalu tidak turun
         dan alang-alang yang marah
         hingga setitik bara saja berkobarlah semua
         seperti hati yang menyimpan api
         namun pantang menyebutnya benci

Ya
Bagaimana tentang hujan hari ini?

September, 2018.

“Red City”
Acrylic on notebook paper
Alf Sukatmo. 2018

Lorong I

“Lorong”
Alf Sukatmo. 2017

Di lorong,
         para pejalan berhenti
            memilih menunggu
               atau berlalu

Yang berpelukan mungkin saja akan segera menjadi masa lalu
dan tertidur adalah cara terbaik untuk pura-pura lupa
sedang, pura-pura tidur hanyalah alasan untuk yang tak mau tahu
Padahal esok tak akan pernah baik-baik saja dengan sendirinya

31 Desember, 2017

 
 



 
 

Selamat Tahun Baru 2018.
May God bless us all with peace, health, prosperity, and happiness.

 
 



Kota Tua

Setelah malam lelah membungkuk
Pagi membuka kerut wajah keriput
Kota berdandan
Orang bergegas
Wangi parfum berganti bau keringat
Embun pergi
Udara busuk
Jarum jam berputar cepat
Bayangan-bayangan bergerak
Aspal terbakar

Aku di tengah pusaran manusia pemuja
apa saja
Berdiri diam
Tak ada yang kukejar
Tempatku pulang sudah ditentukan

Matahari ke barat
Bayang-bayang memanjang
Orang-orang berdandan
Mandi dan wangi
Kota bergegas memainkan sihir cahaya
Satu babak dimulai lagi tanpa jeda

Gaun Pengantin

Gaun putih terserak begitu saja di atas ranjang
Terburu-buru ia kulepas dari tubuhmu
         Istriku,
 
Kita adalah pecinta yang tak pernah mahir bercinta
Malam larut kucumbu gugup
Tubuh pualam merekah
Sejeli bintang kutatap
Ada oaseku di dalam matamu
Ada ruhku sembunyi di situ
Juga sedikit kemurnian yang kupunya
Bila memang masih, berarti hanya itu yang tersisa
Nanti biar kukerat dari hatiku yang berkarat

Selimut dan seprei yang kusut
Seperti kita yang bercinta terburu-buru
         Istriku,
 
Betapa kita mendengar tentang cinta tapi tak diajar mencinta
Hingga kita belajar pada dengus napas memburu
Terengah seolah kehabisan waktu
Dunia
Betapa ia tak pernah senyap menyapa kita
Aku ragu
Bila kelak ada jiwa-jiwa yang menyambung nyawa kita
Bisakah kita mengajarkan cinta
Yang tak pernah kita sadari keberadaannya

Jelita seputih pualam berambut sehitam malam
Selimut membungkus tubuhnya yang telanjang
         Istriku,
 
Saat matahari masuk dari celah kelambu
Sudikah kau berbaring sejenak?
Biar bisa kulihat lagi tilas perjalanan
Berapa ribu kecup bibirku di tubuhmu
Berapa ribu jejak airmata beradu dengan senyum bahagia
Dan terang bintang di bola matamu yang masih kusimpan selalu
Juga biar kuraba lagi jiwaku di rahimmu
Agar aku ingat ternyata waktu tak pernah memburu
Bahwa mencinta itu terajar sewajar embun yang datang dan pergi


25 September 2015

Doa Siang Para Jelata

Niat ingsun makarya
Golek upo nguripi keluwarga
Sun belani ngampet luwe
Sun rewangi adus kringet

Paringono awak bregas
Sarwa seger waras
Loro ora sambat
Balak ndang keliwat

Paringono ati sabar
Pangapuraku jembar
Dipaido ora kuru
Disatru ora nesu

Duh Gusti Pengeran
Welaso marang ingsun

(060420)

Blues Untuk Malam dan Istirahat Yang Terbuang

Malam tergantung di antara ranting-ranting
Serta lantang otakku yang berseloroh riang

Ah, di balik pintu suara-suara nyaring

Tidurku pun terjatuh dalam pemandangan jalanan kusam
Dengan debu-debu kota berenang dalam secangkir kopi hitam

Hei, sudah berapa malam?

   Mungkin, di masa lalu aku adalah kelelawar
   Atau bagian dari seperangkat cangkir di sebuah rumah makan

 
 

03 Agustus 2019

Merapal Luka

Awalnya, adalah sebuah pertemuan
Yang girang dicumbuinya sejengkal

Demi sejengkal tulang
Yang katamu telah dikekalkan
Di rusuk kirinya

Di dalam kamar
Yang lirih lebur menjadi debar
Tubuhmu meregang
Saat usai dirangkainya mantra
Demi cinta
Demi duka

         Aku, berharap sekuntum bunga mekar darimu

Tapi kodratku tak panjang
Maut tak lagi sanggup bercanda
Sedang takdirmu teman perjalanan

Dari jendela, ia menunggu

         “Tunggu,
         aku sedang merapal luka!”

Serpong. Juni, 2019.

Lelaki Sore

: di lengkung alisnya kutemukan pelangi

Jalanan macet di depan sebuah pasar
Parkir tak teratur
Suara peluit bersautan dengan klakson yang menjerit
Antrian panjang menjelang lebaran
Daging terbeli dengan berhutang

Matahari terik
Awan pun jauh
Angin seperti mimpi basah di siang bolong
Orang-orang miskin berangan-angan tentang hujan
Orang-orang kaya membeli mimpi mereka

Kulit legam timbul tenggelam di sela-sela barisan mobil
Berlari-lari mengejar yang berhenti
Menata mereka seperti menyusun kotak kardus
Malam takbiran menjelang
Jalan tak juga lengang saat dia pulang

Bola mata telah memerah saga
Keriput wajahnya seperti buku cerita
Anak gadisnya telah menunggu
Seulas senyum dibawanya ke rumah
Mengganti sekantong daging yang urung terbeli

Agustus, 2018

“On watch”
Acrylic on notebook paper
Alf Sukatmo. 2018

Lorong III

“Lorong III”
Alf Sukatmo. 2017

Geliat besi-besi tua
Asap-asap hitam mengepul ke udara
Matahari terbit malu-malu
Malam baru saja berlalu

         Rindu kami
         Pada perut kenyang
         Istirahat tenang
         Tidur tak kurang

         Rindu kami
         Menunggu petang memeluk
         Berbaring di kasur yang empuk
         Menyambut datangnya kantuk

Mesin-mesin menderu
Suara garang menyalak
Orang berlarian
Matahari sembunyi di balik awan kelabu

Ragu-ragu

6 Januari, 2018