Tiga Babak Pada Duapuluh Satu

I

Asap sebatang nyala tak habis dalam hembus panjang
Menggumpal dalam kepal
Bergulung-gulung serupa dua gunung di dadamu
Dan aku bersila di lembahnya saat matahari masih tidur
Sambil melihatmu menganyam simpul ke duapuluh enam

         Meraba rusukmu
                  mencari-cari tulangku
                           yang kau tanam di situ

Langit masih pekat
Saat aku mulai mendakimu
Sebatang nyala kucuri sebelum terang
Aku bawa lari ke guamu
Dan aku akan diam bertapa di rahimmu

         Bukankah tak berkurang terangnya?

II

Kita menutup sebuah siang
Dengan menjatuhkan hujan
Agar lelap para sahabat pun kerabat

         Sore nanti kita tidak mengiris senja*
         Hanya sepotong kue, sederhana saja

         Bukankah bisa bersama adalah kemewahan?

III

Malam masih muda
         di hari yang menjelang tua
         sebelum kau rebah
         mari kita sudahi satu babak
         dengan mulai menutup tirai-tirai jendela
         sedang aku menatap yang kemudian gelap
         sambil berharap
         tigaratus enampuluh lima hari kelak
         kita akan menutup satu lagi cerita
         yang selalu diawali dengan entah
         hingga aku harus mengaji ribuan babad
         agar kutemukan arti dari ketakterbatasan maknanya
         hanya untuk selalu kelelahan
         lalu memilih patuh dengan kepasrahan

         Dan bukankah rindu itu memang selalu menyakitkan?
 

Oktober, 2017


Catatan
* Kata-kata ini terinspirasi dari judul sebuah buku dan cerpen Seno Gumira Ajidarma


Silent Symphony IV

Samar terdengar sebuah gumam
Dalam ruang masam berbau cat
Dan tubuh kering yang tak pernah basah
            Aku menyebut biru
            Seperti rindu yang selalu
            Seperti cinta melulu

Lalu kata-kata lenyap dalam cemas
Derap menjauh lalu senyap
Ia tidak meninggalkan harap
            Menjelmakan aku
            Yang serba tak tahu
            Mana memar atau rindu

Ia membongkar lembab
Mencari celah di tempurung kepalanya
Agar didapatnya biru terang
            Seperti saat melihat langit biru
            Saat angin menebar bibit kemarau
            Saat tak ada lagi dingin membeku

Agni

"Agni" (Fire) Acrylic on board 65 cm x 78 cm ©Alf Sukatmo. 2017

“Agni” (Fire)
Acrylic on board
65 cm x 78 cm
©Alf Sukatmo. 2017

When a dance starts the history
Men are falling in desperation
 
-ASu

05022017


Photo reference used with permission from the photographer
Photo reference credit: @whdbrn

The Clown and His Praying Daughter

"The Clown and His Praying Daughter" Acrylic on canvas. 100 cm x 150 cm ©Alf Sukatmo. 2016.

“The Clown and His Praying Daughter”
Acrylic on canvas.
100 cm x 150 cm
©Alf Sukatmo. 2016.

Dear father
People may laugh at you
The world may turn you upside down
It’s alright, if you can’t smile, paint a smile.
Made people happy
Entertain them
 
But father,
remember that the true happiness is inside you
I am whispering my silent pray
and hope that the journey will take you home soon


"The Clown and His Praying Daughter" Details on the daughter (with me staring at her)

“The Clown and His Praying Daughter”
Details on the daughter (with me, staring at her)