Surat Cinta Buat Puisi

Pangkalpinang, 28 Oktober 2017

Puisi, eh?
Apa sih yang pertama kali terpikir ketika mendengar tentang puisi?

Pertama kali saya kenal “puisi” adalah waktu pembacaan karya penyair-penyair yang saya lupa siapa saja namanya di halaman Balai Pemuda, Surabaya. Itu juga masih kelas enam SD (Okeee..okee..puluhan tahun lalu). Saya tidak ingat puisi siapa saja, apa judulnya, ramai atau tidak acara itu, keren atau tidak acara itu. Yang saya ingat hanya cara mereka membawakan, yang bahkan di usia yang sekecil itu walaupun tidak terlalu memperhatikan ke arah panggung, suara-suara penyair dan rasa yang tersampaikan masih saya ingat sampai sekarang.

Itulah saat pertama saya jatuh cinta pada puisi, dialah pacar saya pertama kali.
Continue reading

Ibu

Dunia dalam jeda sesaat
Detik berhenti menit membeku jam membisu
Napas tercekat dalam ruang bersekat
Kemudian memburu
Keringat dingin membanjiri kubus waktu
      Aku
Semauku
Manusia yang tak tahu waktu
Hela lega ketika
Telapakmu menyentuh pipiku
Dan kupanggil kau 
      Ibu

 


Oktober 2014

Dua Jam Sebelum Pulang

Kanvas, gulungan kertas dan cat yang lelah menatapku
Bertanya
         Kapan kau akan pulang?
         Kami lelah melukis ketelanjangan
Sabar
Masih dua jam lagi matahari terbit
Lalu aku menuju pulang
Mandi
Melunturkan debu-debu
dan mencuci bau puluhan perempuan di tubuhku
Kembali pada satu
Satu, bisikku
Ah..
Kuhabiskan separuh kopi yang belum sempat terminum
Cangkirnya pun ikut-ikutan bertanya
         Ada berapa banyak
         Bibir perempuan yang pernah menciummu

Hmmm, banyak
Aku bisa menyebutkan nama mereka satu persatu
Bila kau mau
Tapi aku rasa kau tak punya banyak waktu, desisku

Lalu
Pada sebuah foto besar yang tergantung di dinding
Foto perempuan tercantik
Aku berkata,
Kau tak hendak ikut-ikutan bertanya sesuatu, bukan?!
Dari sekian banyak peluk
Kecup cium dan kulum puluhan perempuan
Bukankah senyumku ini satu-satunya yang masih asli milikmu?!
 


Oktober 2014

Es Teh

Kubus es
Dalam teh di gelasku
Dingin tak meleleh
Lidahku beku

Wahai..

Rindu yang kubawa
Tak juga sampai padamu
Tetap saja kau dingin
Seperti es dalam tehku


24092014

Call On Me, Baby

Bias temaram cahaya lampu terpantul dari gelasnya.
Pelan, bibirnya mengikuti lirik lagu, sebelum mengangkat gelas, meneguk isinya, dan meninggalkan bekas gincu merah dari bibirnya.
Beberapa pengunjung melewatinya

Tak ada yang menyapanya
Mereka tak melihatnya

“Call on me, baby
If there’s something I can do for you..” *

Dia sering datang
Dua tahun, dia selalu datang.
Duduk, dan memesan minuman yang sama, pada jam yang sama, hari yang sama, lagu yang sama tepat jam sepuluh malam.
Dia akan memejamkan mata, menikmati lagu itu, mengerutkan dahinya seperti berusaha mengenyahkan suara di sampingnya.
Nanti saat lagu itu usai, dia akan bertepuk tangan lalu mengusap matanya, seolah ada airmata di situ.
Sumber airmata itu telah kering dua tahun lalu

Tak ada yang melayaninya
Mereka tak melihatnya

“Just call on me, baby
I am gonna help you to see it through…”

Tangannya bergetar gelisah.
Mengangkat gelas, menggoyangkan isinya sebelum mendekatkannya ke bibirnya.
Gincu itu tertinggal lagi di bibir gelas.
Tepat jam duabelas malam
Angin dingin berhembus
Dia pulang

Tak ada yang menyapanya
Tak ada yang melihatnya

“Cause i know
I am still in love with you…”

Saat lagu itu selesai
Aku melihatnya
Seorang perempuan yang cantik
Yang mati dua tahun lalu
 


(*): From Thin Lizzy, “Still in Love With You”

Anjing Yang Mati

Subuhku terluka
Sebelum adzan dan gerimis
Suara melolong
Meminta ampun 
Menjerit ngeri
Seseorang bercerita padaku
Ludahnya menyembur berapi
Seekor anjing dipukuli
Maut terlalu dini mengucap selamat pagi

Subuhku gelisah
Sebelum adzan di sela gerimis
Di pertigaan yang resah
Dua kelok dari arah rumah
Dekat saja
Ada hati yang mati
Mata yang membuta
Telinga yang menuli
Mulut yang membisu

Subuhku berdarah
Diantara adzan saat gerimis
Iblis menari
Puluhan wajah bengis
Tangan-tangan mengayun
Hentakan kaki-kaki
Hyaakk....EEEEII!!
Sekali lagi
Berkali lagi

Subuhku berduka
Setelah adzan dan gerimis
Serapah serempak
Bak puluhan penabuh gendang
Gedebug bakbuk bakbuk!!
Suara lolongan itu tak ada lagi
Sesaat sebelum datang polisi
Seorang pencuri mati
Malaikat maut mengucap selamat pagi

 
05/09/2014


Posted from WordPress for Android

Paracetamol

Dikeratnya dari serpihan hati yang patah
Sedikit sisa jelaga kemarahan
dan kristal kesedihan
Dia tambahkan kekecewaan
yang disarikan dari debu kerinduan
Ditumbuknya
Ditumbuknya sampai menjadi serbuk
Matanya tidak berkedip biar perih
sehingga air mata akan tumpah ke dalam mortar
Bukan sedih
Bukan
Tapi perih
Lalu diaduknya
Diaduknya sampai kental dengan sempurna
Kemudian hening
Hening
Seperti ada yang terlupa
Dia beranjak dari meja kusam penuh ceceran kenangan
Ada beberapa lembar foto seorang perempuan yang sudah mati
Beberapa lembar lagi foto seorang perempuan yang sembunyi
Ditempel di dinding tanpa pigura
Berjongkok mencari-cari
      Sepertinya terjatuh disekitar sini
Gumamnya
Dimana jatuhnya sedikit kebahagiaan itu
Dibawah meja
Atau terselip di lembar-lembar buku
Dimana
Dimana jatuhnya
Celakalah ia
Bila dia jatuhkan ke dalam toilet dan sudah hilang tersiram
Benar-benar celaka bila begitu
Tak ada yang bisa mengganti
Dia menggelengkan kepala
      Tak ada
Disekanya air mata yang tidak lagi keluar
Bukan karena sedih tapi perih
Terduduk lesu ia
Serbuk itu tidak akan lagi jadi obat yang sempurna untuk sakit kepala


01/09/2014

Kisah Sebatang Pena

Sungguh, aku adalah sebatang pena, dengan gagang dari jalinan rambut perempuan yang dililitkan pada potongan tanduk menjangan, mataku baja dengan tinta yang diambil dari cumi-cumi,
ceritaku abadi
          Aku telah lelah menuliskan kisah sedih
          Aku telah hapal tiap kata dari kedukaan
          Aku pernah menciptakan baris-baris kematian
          Aku pernah berharap pada ketiadaan
Hanya saja
Untuk sekali dalam seumur hidupku aku ingin menuliskan sebuah kisah bahagia,
walau belum tentu berakhir seperti itu juga
Setidaknya,
          aku ingin berkisah bahwa aku pernah berada dalam keriangan,
          bercerita dengan girang tentang dia yang nyata,
          berdiri di bawah matahari dan berbayang-bayang
Tapi
Saat semua dukanya usai,
Si penyair akan menyimpanku dalam kotak dan puisi-puisinya akan kembali tertidur
Demikianlah bila ia sedang jatuh cinta
Demikianlah bila ia sedang penuh warna
Saat itulah,
sementara,
kunikmati kedamaianku sendiri, sampai aku dibangunkannya lagi untuk menuliskan lembar demi lembar kesia-siaan
          Hai, perempuan yang telah menuliskan sajak cinta di dadanya
          Berbahagialah,
                pun bila ternyata
                waktumu untuknya itu hanya sementara
                sebelum kau hilang dalam kisah dan perjalananmu sendiri
          Karena Si Penyair itu telah ahli bertepuk sebelah tangan
          Sama seperti takdirku yang bergagang rambut perempuan yang dililitkan pada potongan tanduk menjangan,
          kami berjodoh untuk menuliskan baris-baris kesedihan

 


Menjangan: Rusa


29/08/2014

Balada Rara Oyi I

1
Di sana
Kulihat
Gadis kecil yang terhenti memetik bunga
Menengok dan tertawa
Pada dua orang mbok emban yang terengah mengikuti langkahnya
Di pesisir utara sebelah timur pulau Jawa
Bandar bernama Surabaya
Terjajah kerajaan perkasa dari hutan Mentaok
Di sana
Seorang gadis kecil yang dinaungi awan bencana
Kelak takdir akan tertulis dengan darahnya
Dèn Rara.., Dèn Rara..
Kepayahan menghitung satu persatu napas mereka
Perawan kencur itu bersorak
Melonjak dan berlari makin kegirangan
Melemparkan kuntum bunga merah yang dipetiknya ke langit
Jatuh serupa hujan
Makin deras kuntum bunga jatuh dari langit
Merah
Jatuh serupa darah
Makin jauh
Ia meninggalkan dua pengasuhnya yang belum lagi mengumpulkan napas
Dèn Rara.., Dèn Rara..
 
2
Tak jauh
Dua burung gagak Mataram mengawasi mereka
Mata menyala mengintai buruan
Bulu mereka yang sepekat malam mengembang
Sayap-sayap mendekap
Membekap
Tercekam bisu
Kau dibawa terbang menuju kelam
Duhai
Dèn Rara yang mempesona sebelum masanya
Suratanmu tergurat muram
Tanpa daya emban pengasuh bersimpuh
Isak tangis lirih terbawa angin
Dengar..
Dengar..
Mereka memanggil
Dèn Rara.., Dèn Rara..
 


23/08/2014