Surat Cinta Buat Puisi

Pangkalpinang, 28 Oktober 2017

Puisi, eh?
Apa sih yang pertama kali terpikir ketika mendengar tentang puisi?

Pertama kali saya kenal “puisi” adalah waktu pembacaan karya penyair-penyair yang saya lupa siapa saja namanya di halaman Balai Pemuda, Surabaya. Itu juga masih kelas enam SD (Okeee..okee..puluhan tahun lalu). Saya tidak ingat puisi siapa saja, apa judulnya, ramai atau tidak acara itu, keren atau tidak acara itu. Yang saya ingat hanya cara mereka membawakan, yang bahkan di usia yang sekecil itu walaupun tidak terlalu memperhatikan ke arah panggung, suara-suara penyair dan rasa yang tersampaikan masih saya ingat sampai sekarang.

Itulah saat pertama saya jatuh cinta pada puisi, dialah pacar saya pertama kali.
Continue reading

Mantera Pemabuk

Fermentasi rindu
Jarak, ruang, dan waktu
Tetes bening embun
Distilasi peluh

      Seguci air mata
      Dari mata air berduka
      Secawan air manis
      Dan mabuk mantera
      Terbanglah ke nirwana

            Ida Bhatara Arak Api
            Mari
            Aku duduk di hadapanmu

Obituary Senja

         Senja mati
         Demikian juga purnama
         Hujan membunuh keduanya
         Dengan senang hati
         Aku menulis kematian mereka
         Untuk dendamku pada sendiri, puisi,
         dan dirimu

Aku tak lagi menunggu di kotamu

“Eh..”

Seribu arti dari “Eh..”
Sampai lupa “Eh..” mana yang kumaksud
Dan “Eh..” mana yang kau mengerti

Dari “Eh..” tangan bisa berjabat
“Eh..” yang menyapa
Dan ada “Eh..” di ujung perpisahan
“Eh..” bisa juga isyarat
Bahwa kita mungkin telah “Eh..”

Aku “Eh..”
Kamu “Eh..”
Atau “Eh..” mungkin
“Eh..” aku
“Eh..” kamu
Lalu kita bisa “Eh..”
Sampai “Eh..”

“Eh..” mana yang kau mau?

“Eh..?”


11 Juli 2015

Soliloquy Dari Tanah Utara

I.

Bibirku biru
Sebiru bara
Kupaslah gigil di kulitku
            Kupas-kupaslah
            Hingga kau sampai pada hatinya
            Agar henti gemerutuk gigiku
            Karena dekap dingin musim panas
Ambil
Simpanlah ia dalam saku bajumu
Agar terhapus semua jika, bila, seandainya dan seperti

Lalu bawa jasad telanjangku pulang


II.

Untuk
            bibir yang belum pernah berpagut
            tubuh yang belum pernah berpeluk
            rambut yang belum pernah kubelai
            kening yang belum pernah kukecup

Kenapa aku tertusuk rindu?


III.

Aku mencemburui jarak dan waktu
Ribuan kilometer dari tempatmu tidur saat ini,
            malam ini
Dan waktu yang menjadi musuh abadiku selalu
            Ya
            Juga secangkir kopi
Atau teh yang tak lagi kau tuangkan di dini hariku

Bukankah semua kontradiksi ada di pihakmu?
            Saat aku menikmati kebahagiaanmu
            Aku juga merindukan kesedihanmu


28 Mei 2015

Terhenti Pada Koma

         “Siang seperti sekarang ini bukan saat yang tepat untuk menulis puisi”

Berkata perempuan yang menopang dagunya
Pernyataan dalam gumam itu meninggalkan gema
Ia memasang headset
Di hadapannya ada secangkir kopi
Juga asbak yang tengah bermanja dengan sebatang marlboro light
Ia biarkan saja menyala
Hanya awal tadi ia menghisap
Lalu membiarkan saja bara menjalar membakar habis papir dan tembakau

         “Pagi di sini, saat yang tepat untuk menulis puisi”

Kata lelaki itu
Membiarkan matanya menatap matahari yang masih mengantuk
Kopi
Secangkir kopi tidak cukup membakar imajinasi
Sesloki scotch ia rasa cukup bila vodka terasa menusuk
Tangannya menegang
Penanya bicara
Ia merayu kata-kata
Uap hangat ia hembus keras-keras
Terbang ia menggapai orgasme di akhir puisi

         “Terserah saja, aku tak akan membacanya saat ini”

Ia mengambil lagi sebatang rokok
Memainkan filter dengan bibir dan lidahnya
Lalu membiarkan batang itu tergantung begitu saja
Asbak di hadapannya berseru kecewa tertunda ia bermanja
Matahari terlalu berkuasa siang ini
Gumamnya
Perempuan itu kegerahan
Puisi, laki-laki itu dan matahari menjadi dominasi yang tidak ia kehendaki

         “Tak mengapa bila kau tak mau membacanya saat ini”

Lelaki itu tidak tahu penanya sekarat
Ia kehilangan ruh-nya
Barisan kalimat merajam
Pena itu tersedak dalam napas sakaratul maut
Matahari makin mabuk tenggelam dalam langit biru
Biru yang membunuh
Lelaki itu mendesah

Puisinya terhenti pada koma

“Sayaang! Puisiku mati..!”

Porselen

Sebuah bak mandi
Teronggok saja diamdiam
Putih ia
Serupa kulitmu
Bila ingatanku tak salah
Sering kau bersuci di situ
Setelah malam berbasah peluh dulu
Sekarang ia sering sendiri
Berdialog diam dengan lubang toilet
Yang lebih mirip mulut yang ternganga
Menelan tiap ketololanku dengan sengaja
…Atau…
Hei bukankah ia lebih mirip lubang vagina?

Kudengar Blues Dari Matanya

Kau biarkan aku liar sesaat
Pasrah berserah kuperah sarimu
Sembilu persembahanmu
Kujabat bagai sahabat
Memutus dari segala yang terikat

Tolong cepat-cepat kau usir
Segala penatku yang kemarin
Cukupkanlah apa yang tercatat
Pada sebuah jurnal di dinding yang merekam saat
Pada senandung dari mulut perempuan bersayap malaikat
Aku mengeluh
Kau melenguh
Detik menit jam
Darah merambat lambat naik ke otak
Gumam mantra terdengar lamat-lamat
Bias lampu kota pun terlihat seperti semut bermain cahaya

Sebuah lagu blues terdengar dari matanya
Seperti sebuah epiphani
Sebuah ekstase

Pudarkanlah
      Pudarkan
            Pudar

Pada akhir sadarku
Ucap berkubang pada isi perut sisa kemarin
Kata-kataku menggantung di langit-langit
Maafkan bila
Aku tak lagi tahu
Dari arah mana akan kau nampakkan kilas


Sabtu, 16 Mei 2015

Catatan:
Pada awalnya puisi ini berjudul “Blue Ice Vodka

Jakarta

Hujan
Banjir
Macet
Berisik
Kumuh
Becek
Mobil mobil melindas genangan
Pejalan kaki mandi air comberan
Mengacungkan tinju memaki
Asu!
Orang menjadi anjing
Aku menjadi anjing
Kamu?


Benhil, Jakarta. 25 November 2014