Kudengar Blues Dari Matanya

Kau biarkan aku liar sesaat
Pasrah berserah kuperah sarimu
Sembilu persembahanmu
Kujabat bagai sahabat
Memutus dari segala yang terikat

Tolong cepat-cepat kau usir
Segala penatku yang kemarin
Cukupkanlah apa yang tercatat
Pada sebuah jurnal di dinding yang merekam saat
Pada senandung dari mulut perempuan bersayap malaikat
Aku mengeluh
Kau melenguh
Detik menit jam
Darah merambat lambat naik ke otak
Gumam mantra terdengar lamat-lamat
Bias lampu kota pun terlihat seperti semut bermain cahaya

Sebuah lagu blues terdengar dari matanya
Seperti sebuah epiphani
Sebuah ekstase

Pudarkanlah
      Pudarkan
            Pudar

Pada akhir sadarku
Ucap berkubang pada isi perut sisa kemarin
Kata-kataku menggantung di langit-langit
Maafkan bila
Aku tak lagi tahu
Dari arah mana akan kau nampakkan kilas


Sabtu, 16 Mei 2015

Catatan:
Pada awalnya puisi ini berjudul “Blue Ice Vodka

Rekam Ulang

Gelap
Senyap
……..
Sepersekian detik waktu terhenti
Rekam kejadian kau putar ulang
Pandang meminta
Batas terjarah
Lewat hembus napas di telinga
Kutawarkan lagi dosa termanis
Panduan yang kusesatkan
Bergerak kita
Pelan
Tarian liar
Tabuh memencak
Jantung menghentak
Cakarmu di punggungku
Taringku di lehermu
Berputar dalam pusaran
Terhisap aku masuk ke tubuhmu
Lalu lepas kendali
Rebah
Lelah
Selimut kusut
Gelap
Senyap
……..
Sepersekian detik waktu terhenti

Cinta?


12 April 2015

Hujan kepagian

Hari ini aku rasa
Matahari sedang malas terbit
Ia dicurangi hujan yang tiba-tiba datang
Terlalu pagi, terlalu pagi!
Kau tahu aku enggan tidur tanpa matahari
Aku juga
Membenci pagi yang berisik dan basah
Aku meneriakinya dari dalam kamar
Tapi hujan tak mendengar
Dan aku tenggelam dalam secangkir kopi
Di dini hari ini

Kamis, 2 April 2015

Rumahku

Malam ini
Seorang perempuan membukakan pintu
Indah
Berkaos longgar
Mungkin juga tanpa kutang
Matanya seperti sepasang lubang hitam
Siap menelanku semalaman
Wajahnya cukup cantik
Berhias senyum terkembang
Walaupun menurutku
Wajah itu tetap mirip lukisan Braque
Sepertinya ia tidak tidur menungguku pulang

Siapa kamu?
Aku tidak mengenalmu
Apa ini rumahku?

Hidungku mengendus
Aroma yang khas tercium dari dalam rumah
Bau kelelahan dan rasa bosan
Beradu dengan bau nasi hangat
Dan debu di buku-buku tua
Bercampur bau harum cinta yang kuabaikan

Benar
Memang ini rumahku
Lalu
Aku masuk memutari dia seperti tikus mencari celah

Benar
Ini memang rumahku
Lalu
Siapa kamu yang berpura-pura menjadi istriku?


Tangerang, 7 Desember 2014

Jakarta

Hujan
Banjir
Macet
Berisik
Kumuh
Becek
Mobil mobil melindas genangan
Pejalan kaki mandi air comberan
Mengacungkan tinju memaki
Asu!
Orang menjadi anjing
Aku menjadi anjing
Kamu?


Benhil, Jakarta. 25 November 2014

Merah Marun

Basement yang tak pernah lengang
Hiruk pikuk
Senyap seketika
Puluhan manusia
Buram seperti bayangan
Bergerak lambat
         Atau aku yang terlalu cepat?
Tawa gerombolan lelaki perempuan muda
Terdengar seperti gema

Tangga itu
Jalanku menuju
Merah marun
Yang duduk di situ
Menunggu dalam liang waktu

Segelas kopi bukan teman
Terlalu panas
Untuk waktu terlalu singkat
Dan kita tahu
Malam datang tak terburu-buru
         Ah..
         Waktu..
         Musuhku selalu

Basa basi
Kabar yang basi
Duka yang basi
Jangan telanjangi aku siang ini, Merah marun
Bukankah kau juga tahu tiap sudut
Tanpa pernah menjadi warna pada kanvasku

Tangga itu tak tahu malu
Menungguku
Manusia-manusia bergerak cepat
Gumaman mendengung rendah seperti suara lebah
Siang ini
Sebelum pergi
Sejenak tanganku kau genggam
Kau bertanya,
         “Kapan pintumu akan terbuka?”
Sambil berdiri, kujawab
Sudah beberapa waktu lalu
Tertutup lagi kini
Engsel yang berkarat menjerit sakit bila kau paksa buka

Siang sesingkat ini
Dan tangga itu tetap tak tahu diri
Menyegerakan aku pergi
Belum jauh
Beberapa puluh langkah
Sebelum kegaduhan itu tertelan raungan binatang-binatang besi
Kau berkirim pesan:
         “Aku akan rindu
         Segelas kopi bukan teman yang hangat untuk malam-malammu
         Mari sini kutelanjangi dukamu
         Biar kuajari kau membuka pintu”


Surabaya, 17 November 2014

Ruang Gambar

old workspace

Ruang yang lembab dan sumpek
Dua meter kali satu
Pengap seperti liang kubur
Sebuah jendela menjadi penerang saat siang
Dan perantara imajinasi dan dunia nyata di saat malam
Atau menjadi penyampai berita pada tetangga
Lewat jendela itu mereka melihatku hidup dan bekerja
Sedikit di bawah jendela
Kertas-kertas tertumpuk di samping meja
Saat angin berhembus
Sesekali tersingkap lembarannya
Ada juga puluhan buku-buku tertata rapi di rak
Di lantai satu dua tergeletak diam
Tua dan keriput menunggu dibaca
Padahal baru kemarin
Rasa-rasanya
Lihat
Kuas-kuas tumpang tindih
Di meja yang penuh sisa cat
         sesekali ada juga kecoak beradu lari di atasnya
Selembar kertas kosong siap di tengah meja
Tanpa noda seperti perawan
Telentang
Telanjang
Tapi
Tidak
Saat ini aku kehilangan gairah
         bukan karena posemu kurang menantang
Hanya saja, saat hujan begini
Aku memilih duduk diam-diam
Mendengarkan hujan mengetuk-ngetuk kaca jendela
Sambil menunggu seseorang datang
Berteriak dari balik pintu, bertanya:
         Halooo, apakah anda masih hidup???
         Karena jendela anda buram
         Kami kehilangan tontonan
Belum, tak ada siapa-siapa
Masih suara hujan mengetuk-ngetuk kaca jendela
Aku menunggu


November 2014

Semangkuk Sup

Satu sendok teh garam dari keringat yang menguap
Setengah sendok teh merica dari pedihnya mata yang terjaga
Sepuluh buah bawang merah
Potong tipis-tipis
Hati-hati bakal menangis kau dibuatnya
Remukkan tiga siung bawang putih
Dengan cara yang sama seperti kau remukkan hatiku
Rebus
Dalam sepanci air sampai mendidih
Masukkan duapuluh cabai bersama pedasnya kata-kata
Air susu dari sepasang payudaramu juga jangan terlupa
Aduk hingga rata di atas api
Boleh api amarah atau birahi

Setelah hampir matang
Campurkan saripati gambar tanpa garis dan warna
Kau bisa cari di meja tukang gambar itu
Bila kau sungguh mencari
Ya
Bila kau sungguh peduli
Di lantai lembab itu
Kau pun dapatkan
Katakata tanpa kemegahannya
Yang hanya nampak bila
Kau tak sibuk mengurusi perasaanmu sendiri

Kembali ke panci
Aduklah
Seperti kau mengaduk perasaanku
Aduk sampai mengental
Sekental mani yang sia-sia terbuang
Dan menjadi wangi seperti baumu
Bila nanti masakanmu telah matang
Sajikan dalam sebuah mangkuk
Bersama melodrama tentang perasaan yang tersia-sia
Tambahkan irisan perasaan lapuk dan hati membusuk yang bisa kau kerat dari daun pintuku


November 2014