Ia mencari jalan ke sana
saat gelap, beberapa saat sebelum malam buta
Di sana,
pendar kecil di kejauhan
Ia ingat
dulu ia adalah cahaya
Malam buta
Kabut menjadi selimut
mendung pekat bulan tertidur
Ia masih harus mendaki bukit
Ia ingat,
dulu ia tak berwarna
Langit masih gelap
tatap matanya seayunan lengan
Ia menggigil teringat hangatnya peluk
“Kekasihku..,” bisiknya, tak ada yang menjawab
Ia ingat
dulu ia tak tahu kawan, tak kenal lawan
Di puncak bukit
ia tersengal, napasnya hampir terbang
Tak ada cahaya berkedip di sana
Mereka telah turun ke bawah menjelma warna-warna
Ia ingat
tak ada lagi dulu yang diingatnya
Kota menjelma, seribu warna
cahaya, indah dan menggoda
Ia teringat sepasang paha pualam, serta bulan sabit
di atas sepasang gunung seputih susu
Ia ingat
ada jalan menuju pulang
Biar,
cahaya menjelma warna-warna
Ia tahu, pendar pucatnya tidaklah indah
Dan di tempat terjauh, kekasihnya menunggu
Ia ingat
dari kekasihnya, ia menjadi terang
Di sana
saat malam buta, dan sehela napas tersisa
Ia berguling menuruni bukit
Pada yang mencintainya, ia harus pulang