
“Dialog III”
Daun tak menggugat
Ia tak bertanya
“Kenapa?”
Saat jatuh
Ia luruh dalam peluk
“Kau tahu?”
Rindu pun bahasa semesta
“Dialog III”
Daun tak menggugat
Ia tak bertanya
“Kenapa?”
Saat jatuh
Ia luruh dalam peluk
“Kau tahu?”
Rindu pun bahasa semesta
“Dialog II”
“Dialog I”
Mungkin, aku pun ada di situ
Beri aku sesuatu yang singkat
Sesingkat yang bisa kurindu
Secepat yang bisa kau beri
Seulas senyum
Mungkin, seperti “Smile” dalam hentak bass Yoshihiro Naruse
Atau tangis bila kau bisa
Cepat
Tanpa perlu sebab atau alasan
Sebelum dinding-dinding yang terlalu lama kosong
Mengerang dibawa ajal
010217
: dan apa saja yang tercecer di dalamnya
Kubaca
Nanti
Saat diam
Sehingga tak ada lagi yang mati
Setiap kali aku bertanya pada sela pahamu
“Apakah kau bahagia?”
Karena kau dan aku sama-sama tahu
Bahwa kata-kata bisa seperti peluru
Seketika ia menukar cinta menjadi murka
Dan birahi menjadi benci
Nanti
Kubaca
Saat tenang
Selembar catatan tak bersampul
Kusut karena aku terlalu sering membungkuk
Merunduk-runduk
Bertabik pada manusia-manusia berhati batu
Lalu bertanya kepadamu
“Sudahkah kau bahagia?”
Sebelum memunguti tetes-tetes air untuk sekedar kupercik ke wajah
Agar aku tahu apakah masih terasa segar mereka
Karena kau dan aku sama-sama tahu
Bahwa wajah kita bisa setebal kulit kayu
Kelak
Kubaca
Saat luang
Selembar catatan tak bersampul
Namun belum nampak apapun tertulis di situ
Bisa saja akan terbaca kata cinta
Atau justru tak terbaca apa-apa
Selembar ia
Yang terselip di antara tulang rusukku
Tepat di tempat dulu ia dipatahkan
Lalu konon diciptakanlah kau darinya
Tapi tenanglah
Aku tak akan bertanya
“Pernahkah kau bahagia?”
(Pangkalpinang, November 2016)
Pada ujung doa kuselipkan sebilah belati
Aku hendak membunuh sepi
Yang menjadi rentang
Sehingga aku dan kau lumat digulung rindu
Tiap pagi
Meninggalkan wajah kusut seperti selimut
Kuyu tak puas bercumbu
Seperti celana yang dipakai tergesa
Mengejar pulang
Continue reading
“Oblivion”
Hard pastel on paper.
©Alf Sukatmo. 2016
Di tubuhmu
Aku seperti melihat
Orang-orang mengusung keranda
Bukan jenazah
Bukan jasad
Kata mereka
Ratusan burung di dalamnya
Atau ribuan kunang-kunang
Bila tutupnya di buka
Terbanglah mereka semua
Ke langit menjadi bintang
Berpendar cahaya
Sewarna permata
Lalu
Sudahkah kuceritakan tentang wanginya?
Ia membuka mata
Berpindah ke atasku
Bertanya
Bukankah terlalu pagi untuk bercerita
Tidak ada pagi
Yang menjadi terlalu
Bahwa hari ini hanya seporsi kenikmatan
Belum tentu kita bisa menikmatinya
Lagi
Esok
Senyumnya terkembang
Ia berdiri
Membiarkan selimut jatuh
Cahaya lampu terpantul pada butir-butir keringat
Masih kulihat sepasang luka di punggungnya yang telanjang
Tempat dimana aku memotong sepasang sayapnya
Dulu
Saat matahari meninggi ia membuka pintu
Bergegas pulang
Selalu
Pinggiran Jakarta Selatan, 6 April 2015
Airmataku menjadi kunang-kunang
Bukan tumpah
Naik dan terbang ke sudut-sudut ruangan
Mereka hinggap di mejaku
Di kertasku
Di kanvasku
Di ujung penaku
Di ujung kuasku
Di ujung hidungku
Di sudut mataku
Menghisap hisap kesedihan
Menghisap hisap keluh
Menghisap hisap gerutu
Menghisap hisap ketidakpuasan
Berpendar cahaya
Makin terang
Sehingga aku harus mematikan lampu-lampu yang cemburu
Ditelan cahaya aku
Dibawanya ke alam tak kenal waktu
Puluhan ribu mereka menggiringku
Ke arahmu
Yang berambut hitam ikal pekat sekelam malam
Malu malu terurai
Aku
Berdiri di depanmu saat kau menyeka pelupuk dan pipiku
Tak ada lagi sisa airmata di situ, bisikku
Kau
Dan senyummu
Berkata,
Masih ada
Airmata yang kau simpan di hatimu
Biar kuseka dari sini,
katamu sambil terus memegang pipiku
Dari sela jari tanganmu keluar lagi ribuan kunang-kunang
Mendekap dirimu dan diriku dalam lautan cahaya
Hangat
Kusentuh bibirmu
Seperti dulu
Aku tak tahu lagi apa yang kurasakan
Bukan kesedihan juga kebahagiaan
Mungkin campuran dari keduanya
Bersamamu
Tanpa sekat waktu
Merasa kita dalam perjumpaan abadi
Membuat rambutku kian memutih
Seperti lautan ilalang perak yang pernah kita lihat
Tak ada yang tak berakhir, bisikku
Masih kau dan senyummu
Berbisik juga
Kepergianku bukan akhir buat cinta
Tanpa selamat tinggal
Tak ada yang berakhir
Kelak kau akan bersamaku lagi
Bisikmu
Menjadi gema
Kunang-kunang terbang satu persatu
Membawaku pulang
Keping demi keping
Diutuhkannya lagi terduduk di depan lukisan wajahmu yang tak pernah selesai
Bibirmu masih hangat di jariku
Bisikmu masih bergema di kamarku
23 Oktober 2014