I
Asap sebatang nyala tak habis dalam hembus panjang
Menggumpal dalam kepal
Bergulung-gulung serupa dua gunung di dadamu
Dan aku bersila di lembahnya saat matahari masih tidur
Sambil melihatmu menganyam simpul ke duapuluh enam
Meraba rusukmu
mencari-cari tulangku
yang kau tanam di situ
Langit masih pekat
Saat aku mulai mendakimu
Sebatang nyala kucuri sebelum terang
Aku bawa lari ke guamu
Dan aku akan diam bertapa di rahimmu
Bukankah tak berkurang terangnya?
II
Kita menutup sebuah siang
Dengan menjatuhkan hujan
Agar lelap para sahabat pun kerabat
Sore nanti kita tidak mengiris senja*
Hanya sepotong kue, sederhana saja
Bukankah bisa bersama adalah kemewahan?
III
Malam masih muda
di hari yang menjelang tua
sebelum kau rebah
mari kita sudahi satu babak
dengan mulai menutup tirai-tirai jendela
sedang aku menatap yang kemudian gelap
sambil berharap
tigaratus enampuluh lima hari kelak
kita akan menutup satu lagi cerita
yang selalu diawali dengan entah
hingga aku harus mengaji ribuan babad
agar kutemukan arti dari ketakterbatasan maknanya
hanya untuk selalu kelelahan
lalu memilih patuh dengan kepasrahan
Dan bukankah rindu itu memang selalu menyakitkan?
Oktober, 2017
Catatan
* Kata-kata ini terinspirasi dari judul sebuah buku dan cerpen Seno Gumira Ajidarma