Cinta Yang Aku Tahu

I love you.
Aku mencium pipinya.

Saat dia menatap mataku.
Aku melihat mendung.
Melihat gerimis.

Aku tahu dia tidak bahagia.
Dia melihat jam tangannya, aku merasa waktu seperti akan memutus kebersamaanku dengannya.

Ingin kucium saja bibirnya, kalau itu bisa membuatnya bahagia.
Tapi kita memang tidak pernah benar-benar bahagia.
Aku tidak tahu bagaimana cara dia menghadapi kenyataan sehari-hari.
Yang aku jelas tahu, dia tidak bisa lagi hidup dengan istrinya.
Dia selalu membayangkan aku, membayangkan kebahagiaannya, bersamaku.
Aku bertanya-tanya apa yang dia lakukan untuk mengisi kekosongannya saat tak bersamaku.
Aku tahu dia selalu mengingat wajahku, pada saat dia dan istrinya bercinta di atas ranjang yang dulu mereka pakai saat malam pengantin.

Sedangkan aku
Aku juga tidak pernah lagi menikmati saat lelaki selain dia merayuku, mencumbuku.
Dalam melayani pun aku diam-diam menolak.
Aku merasa diperkosa, tanpa mereka sadar soal hal itu.
Aku membayangkan bagaimana rasanya bercinta dengan dia, dia dan hanya dia.
Saat mereka tertidur kelelahan, setelah puas, aku menangis.
Aku menangisi ketakutanku.
Aku takut.
Mulutku beku setiap kali menolak mereka.
Penolakanku surut saat melihat puluhan lembar seratusribuan. Aku enggan meninggalkan kenyamanan yang kudapat, aku tidak berani keluar dari kemapananku sekarang.

Sayang?

Elusan tangannya di punggungku menarik diriku kembali ke kenyataan.
Hem?

Kamu harus kembali ke kantormu, sekarang.

Aku menunduk.
Bagaimana dengan Kau?
Aku mengenggam tangannya.
Ia berkata akan pulang.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya di sini.
Aku menunduk makin dalam.
Kau akan kembali lagi ke sini, kan?
Aku berharap dia berkata ya.

Kita lihat saja nanti.

Aku menangis.
Jangan tinggalkan aku sendiri.

Ia tersenyum dan menggeleng.

Aku tahu dia hanya menyenangkan hatiku.
Sorot matanya tidak bahagia.
Tapi, bukankah kami memang tidak pernah benar-benar bahagia, kecuali saat bersama?
Bukankah Aku dan dia hanya ingin bahagia?
Bukankah dia, cinta yang aku tahu?

Waktu telah benar-benar menjadi pemutus kebersamaan kami. Aku masih saja menangis, saat mencium tangannya, airmataku jatuh ke sana.
Saat mencium pipinya, airmataku ada di dadanya.
Aku melihatnya pergi.
Terus memandangi punggungnya. Dia tidak akan pernah menengok ke belakang. Tapi, aku berharap, untuk sekali ini saja dia menengok.
Dia tetap melaju seperti angin.
Berjalan maju tanpa pernah menengok ke belakang, tanpa pernah menyurutkan langkah. Dan aku melihatnya hilang.

Malam itu, aku berbaring di samping seorang lelaki, sambil membayangkan bahwa dia dan bukan lelaki yang membayarku, perempuan yang baru satu jam dikenalnya.
Aku membayangkan dia memelukku.
Merasakan hangat bibirnya, saat dia mencium bibirku.
Merasakan dia berada di dalamku.

Aku terbaring dan tertidur kelelahan, puas berulang-ulang setelah membayangkan bersamanya.
Tanpa tahu ada telepon dan sms dari polisi berisi berita duka tentang dia, ditujukan padaku.

Aku tertidur.
Aku bermimpi, dia yang tertidur di sampingku, bukan orang lain
Yang aku rasa dia yang memeluk tubuhku.
Yang aku tahu, sekarang, dia benar-benar bahagia.


Cerita ini pernah saya tulis dalam versi lain.